Kamis, 28 Februari 2013

Naik Angkot Itu.... (jilid 2)

Tidak seperti jilid 1 yang lalu, cerita yang akan dikisahkan berikut agak menegangkan. Memang pengalaman bertahun-tahun yang lalu tapi masih terpampang nyata (haalaaaah). Antara 6-7 tahun dari sekarang. Sudah menjadi kebiasaan saya pulang dari kampus melewati senja. Mungkin saat itu menjelang isya'.

Perjalanan dari kampus ke alun-alun kota sangat lancar, aman terkendali. Tetapi begitu oper ke AG.... perasaan saya sedikit tidak enak. Betapa tidak..., di dalam angkot itu semuanya orang madura dan hanya saya yang satu-satunya berkulit cerah juga bermata kecil. Bukannya mau berbicara sesuatu yang rasial. Tetapi hati kecil saya mengatakan "ini akan menjadi malam yang panjang".

Segala bentuk percakapan mereka dalam bahasa madura. Saya tidak mengerti sedikit pun. Tetapi saya boleh berlega hati sedikit. Melihat barang bawaan mereka sangat banyak dan berat. Tas-tas ransel dan beragam kardus yang terisi penuh. Meski begitu, tangan saya tetap berada di dalam salah satu kompartemen tas saya yang berisi pisau lipat. Saya genggam begitu erat.

Saya tidak begitu memperhatikan, berapa jumlah laki-laki dan perempuan di dalam angkot tersebut. Yang jelas perempuan adalah minoritas. Hati saya mulai menciut ketika angkot AG membelok ke arah yang tidak semestinya. Saya semakin jauh dibawa ke suatu daerah asing dan gelap. Tanpa ada angkot lain terlihat.

Ya.... saya terbawa ke daerah Muharto, jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Tadinya saya berniat mengabarkan orang rumah kalau saya tersasar. Rupanya sms itu salah kirim ke seseorang yang akhirnya menjadi suami saya sekarang (pipi memerah). Semakin jauh, semakin gelap. Saya mulai membuat beberapa rencana di otak.

Ternyata rencana untuk berhenti di pinggir jalan itu dan naik taksi tak bisa dijalankan karena saya terbawa semakin jauh dari bibir gang. Melewati dua kuburan pula. Horor! Jantung mulai berdebar kencang. Jalan saya buntu!! Saya simpan kegelisahan itu di dalam jiwa, saya perlihatkan wajah tenang. Tak seberapa lama, angkot itu berhenti di sebuah ujung gang buntu.

Benar-benar buntu dan jalan itu hanya bisa dilewati satu buah mobil saja. Mereka semua turun, beserta barang bawaan mereka. Tetap ramai dengan bahasa madura yang tak saya pahami artinya. Waduh hanya tinggal berdua dengan sopir. Tetap tak boleh lengah. "Pindah depan aja mbak". Dan saya pun berpindah tempat duduk.

Saya mematuhi perintah sopir itu untuk memudahkan penyerangan (kalau perlu), untuk mengingat setiap detil ciri yang dimiliki sopir itu, juga untuk mengajaknya berbicara/menggali informasi tertentu. Ternyata belum saya bertanya, sopir muda itu menjelaskan kalau angkotnya dicarter oleh sekeluarga madura. Dari terminal arjosari menuju rumahnya.

Saya amati betul jalur yang kami lalui. Semuanya sama dengan saat kedatangan, hanya saja berbalikan arah. Debaran jantung mulai mereda ketika angkot kembali ke jalur sebenarnya. Ketika lampu-lampu kembali benderang. Ketika angkot-angkot lain bisa terlihat mata dengan mudah. Syukur Alhamdulilah bisa sampai ke rumah meski hampir jam 9 malam dengan kondisi utuh...

[tips aman naik angkot bisa dilihat di tulisan Naik Angkot Itu.... (tamat)]

Minggu, 24 Februari 2013

Naik Angkot Itu.... (jilid 1)

Ini pengalaman masih segar. Baru terjadi kemarin sore. Ceritanya saya dan suami plus anak harus menjenguk uti di mergosono. Singkat cerita, perjalanan dari lawang ke mergosono di pagi hari sangat lancar. Tidak terjebak macet. Angkot cenderung sepi, tidak ada bau-bau yang mengganggu (terutama rokok dan parfum). Alhamdulilah, E-boy tidak muntah. Ceria sepanjang perjalanan. Lain halnya ketika perjalanan pulang dari mergosono ke lawang di sore harinya (sekitar jam lima sore). Kami menumpang angkot jurusan AMG. Cukup penuh.

Lagi-lagi kami beruntung karena tidak ada perokok. E-boy yang kelelahan akhirnya tertidur di pangkuan saya. Di angkot ini saya agak curiga dengan jenis musik yang diperdengarkan. Agak nge-rock! Sungguh anomali kalau biasa-biasanya yang diputar adalah musik dangdut. Saya lirik bagaimana rupa sang sopir (tidak mungkin kelihatan wajahnya lah, karena dari bangku belakang). Tetapi saya bisa memperkirakan: umur sekitar 30-an tahun, kulit hitam, rambut keriting kayak mie instan sebahu dan tergerai, orang rada sinting. Kesintingannya saya ketahui dengan jelas ketika memasuki area terminal, si sopir mengendarai angkot dengan ugal-ugalan. Ngebut berusaha menyalip truck yang tak mau kalah pula.

Doh hati saya mencelos! Hanya bisa berdoa. Untung E-boy tetap pulas tak terganggu acara nyetir si sopir sinting. Di sini pula saya mengetahui satu jenis ibu yang menurut saya sangat aneh: berbicara judes dan galak, penuh bentakan ke kedua putranya tetapi bertutur kata manis, ramah, obral senyum ke penumpang lain. Ketika ketiganya turun dari angkot, saya hanya bisa memandangi anak-anak itu dari dalam angkot yang semakin menjauh. Kasihan benar anak-anak itu... Wajahnya begitu kelelahan dan begitu merindukan kehangatan ibunya.

Naik LA tak kalah hebohnya. Karena badan sangat lelah, saya dan E-boy memilih duduk di depan. Mumpung masih kosong. Dengan harapan kalau sopirnya agak sinting, saya bisa segera protes dengan cara santun. Ternyata sopir LA ini lumayan sepuh (tua). Saya tenang. Tetapi suami memutuskan di bangku belakang. Mungkin supaya saya dan E-boy cukup nyaman di bangku depan. Sebenarnya saya tidak menjumpai sesuatu yang aneh. Tetapi suami saya di bangku belakang menangkap adanya ketidak-beresan. Ada beberapa penumpang yang naik secara terpisah namun diduga merupakan sekawanan pencopet/pencuri/penodong/mafia yang berpura-pura sebagai penjual buku. Mereka bayak sekali omongnya.

Saya baru merasa aneh ketika sang sopir meminta suami saya pindah ke bangku depan. Tetapi karena harus tahu diri, tahu tempat, tahu situasi maka saya tetap tenang sampai tiba di mana kami harus turun. Begitu turun pun kami tetap membisu. Berusaha mengamankan E-boy sampai di rumah dengan selamat. Segera kami ubah suasana melelahkan itu dengan menikmati hembusan angin dari dokar yang kami tumpangi menuju lokasi perumahan. E-boy senyum lebar, tertawa ceria. Saisnya juga ramah, mengajak E-boy ngobrol mengenai kuda. Bahkan disuruh mengelus-elus kuda yang tergolong jinak itu.

Sampai di rumah, bongkar muatan. Membahas apa yang ada di dalam LA, terhantam pusing parah. Suami sih pusing biasa. Tetapi saya mengalami pusing luar biasa. Terkena migrain di sebelah kiri. Membuat saya terkapar beberapa jam di kasur menemani E-boy yang masih saja beraksi bak kuda jantan berlari sambil berseru "ketoplak... ketoplak... ketoplak...". Naik angkot selalau banyak tidak enaknya... Semakin tidak aman, tidak nyaman, tetapi hanya ini satu-satunya alat transportasi yang murah meriah (dasat emak irit). Dan semakin melelahkan ketika kita mengajak serta balita yang kudu dijaga keselamatannya.

Lanjut ke jilid 2 lho... (klik di sini) dan tips aman naik angkot bisa di klik di sini.

Senin, 11 Februari 2013

Cumi-Cumi Bumbu Hitam

Masakan ini sudah menjadi favorit saya sejak kecil. Tidak disangka, suami pun menyukainya juga (apa ya yang gak disukai suami?!). Biasanya saya memesan mama untuk memasakkan menu ini. Tapiiii... karena sekarang jarak tempuh ke rumah mama lumayan jauh. Maka, saya terpaksa menyingkirkan rasa enggan dan geli. Beberapa gram cumi-cumi pun mulai saya olah.

Bahan:
200 gram cumi-cumi segar
3 siung bawang putih
5 siung bawang merah
2 buah cabe rawit
2 ruas jari kunyit
3 cm laos
gula
garam
minyak untuk menumis




Cara Membuat
  • geprek laos dan kunyit, sisihkan
  • iris tipis bawang putih, bawang merah, dan cabe rawit
  • potong tomat seukuran dadu
  • cuci cumi-cumi segar (jangan terlalu bersih agar warna hitamnya tetap tersisa) dan iris sesuai selera
  • tumis bawang putih dan bawang merah hingga harum, masukkan cabe juga laos dan kunyit
  • tambahkan tomat, aduk hingga rata dan layu
  • masukkan potongan cumi-cumi segar
  • masak hingga cumi-cumi matang, tambahkan gula dan garam sesuai selera
  • siap disajikan
Begitu matang, masakan ini bisa langsung habis dikonsumsi. Tak perlu menunggu dua-tiga kali makan. Sekali makan aja bisa habis oleh kami bertiga. Terkadang supaya sedikit awet dan saya tak perlu masak beberapa kali sehari, saya suka menambahkan potongan kentang rebus (tips irit tenaga dan rupiah).
Selamat mencoba ...

Minggu, 10 Februari 2013

Secuil Pengalaman di RSUD Lawang

Tidak pernah terpikirkan akan menjadi pasien. Pasien RSUD pula. Sedari kecil saya punya pengalaman tidak menyenangkan dengan yang namanya RSU. Pelayanan yang jauh dari kata ramah, wajah ketus, antri aduhai panjang. Lama berjam-jam, juga seperti di ping-pong ke sana ke mari. Kumpulan pengalaman itu lah yang menyebabkan saat dewasa lebih memilih RS swasta atau berkunjung ke ruang praktek pribadi.

Kondisi kesehatan yang tidak bagus per pertengahan januari lalu membuat saya merevisi pengalaman di RSU. Sebuah keterpaksaan bila akhirnya saya terdampar menjadi pasien RSUD Lawang. Tetapi harus disyukuri sebenarnya! Karena dokter spesialis langganan (sejak 2008) saya bertugas setiap hari selasa dan kamis di RSUD Lawang. Hoki bener nih. Saya tak perlu jauh-jauh ke Malang.

Demi penegakan diagnosa, saya membulatkan tekad ke RSUD Lawang. Lokasinya cukup dekat dengan tempat tinggal saya. Kurang lebih 5-10 menit perjalanan. Langkah pertama mengambil no antrian. Kemudian membuat catatan medis baru. Dan ternyata pelayanannya cukup ramah. Dan antrian tidak terlalu panjang. Petugas di sini sangat sabar meladeni pasien jamkesnas tua yang ngotot minta dilayani padahal syarat-syarat yang dibawanya kurang lengkap.

Kurang dari setengah jam saya sudah mempunyai buku catatan medis baru di RSUD Lawang. Dokter tiba kurang lebih jam 9 pagi. No antrian saya tidak lebih dari no 5. Wuaaaah.... Senang sekali. Jadi total waktu yang saya habiskan waktu itu tidak lebih dari dua jam. Enak sekali bukan?! Di luar itu semua saya mendapatkan perhatian dokter spesialis dengan kualitas yang sama dengan di jam praktek pribadinya. Bahkan dokter saya menganjurkan periksa rutin di RSUD Lawang saja dan baru lari ke Malang kalau memerlukan tindakan medis lebih lanjut.

Di luar dugaan, dokter saya ini masih ingat semua kronologis kesehatan saya. Meski samar-samar, maklum catatan medis yang sekarang ini masih putih bersih. Sehingga dokter berusaha mengingat alur kesehatan saya di masa lalu sambil mengkonfirmasi kepada saya. Dan akhirnya membuat pijakan diagnosa dan tindakan atas masalah kesehatan saya yang sekarang ini.

Keluar dari ruang periksa menuju kasir... lebih sumringah lagi saya!! Uang yang saya keluarkan sebesar Rp. 35.000,- dengan rincian Rp. 10.000,- adalah tindakan umum oleh suster (timbang badan, tensi darah, dan cek fisik lainnya) dan Rp. 25.000,- adalah jasa konsultasi dengan dokter spesialis. Kalau di ruang praktek pribadi bisa kena berapa ya sekarang?? Pasti lebih dari seratus ribu ya...

Saya pulang dengan hati lega dan bisa menghemat sekian puluh ribu rupiah untuk menebus obat serta waktu sekian puluh menit lebih banyak untuk beristirahat di rumah. Oia, satu lagi informasi yang cukup menyenangkan... biaya USG sekitar Rp. 20.000,- dan sudah mendapatkan hasil cetak fotonya. Ada yang berminat periksa di RSUD Lawang? Jangan deh ya... Jaga kesehatan baik-baik teman ^_^

[cerita E-boy di hari ini bisa dibaca di Mengantar Bunda ke RS]
[cerita E-baby bisa diintip di Ada dan Tiada]