Selasa, 19 November 2013

Berubah? Itu Pasti!

Sebulan belakangan saya wira-wiri ke banyak dokter. Dokter kandungan, dokter gigi, dokter anak, dan dokter THT. Dokter kandungan untuk saya seorang, memeriksakan kondisi rahim saya setelah proses bersalin yang lalu. Pergi ke dokter gigi untuk proses menambal gigi ibuk dan menambal gigi E-boy yang bermasalah (dua gigi berlubang). E-boy memang belum sakit gigi tapi mulai sering mengeluh "bunda, seliliten" (seliliten artinya ada makanan terselip di gigi).

Yang ingin saya bagi di sini adalah pengalaman ke dokter THT dan ke dokter anak. Sekitar dua minggu yang lalu saya dikejutkan dengan peringatan dari mama "Nduk, telinga kiri anakmu berdarah loh. Erdi ngeluh gatal dan korek-korek telinga". Haduh hati saya langsung dag dig dug. Suami segera mengusulkan untuk pergi ke dokter THT di RSU. Sebenarnya saya paling ogah ke RSU. Antrinya bikin patah hati.

Tetapi karena saya tak punya pilihan lain. Tidak tahu dokter THT yang praktek swasta dan karena memang suami sudah rutin periksa telinga ke RSU, jadilah saya menguatkan hati dan niat (jadi ibu itu wajib LEBIH kuat, lebih tabah, lebih segala-galanya). Rencana berangkat jam 6.30 pagi. Lagi-lagi telat. Dengan dua anak, kami baru bisa berangkat jam 7.30. Dapat antrian no 21 dan 22 untuk E-boy dan ayahnya. Sabaaaaaaaaaaaaaaar... Maklum berangkatnya sudah siang.

Akhirnya E-boy dipanggil juga. Masuk ruang periksa saya senyum lega. Kenapa? Karena saya ditemani suami berhadapan dengan dokter THT yang ramah. Juga saya puas melihat kinerja dokter ini. Di depan saya, dokter tersebut masih sibuk membersihkan alat-alat periksa bekas pasien sebelumnya dengan alkohol. Kemudian menatap E-boy dan percakapan berikut terjadi (d= dokter, s= saya, su=suami):
d: "selamat pagi, saya dokter A, anaknya kenapa bu?"
s: "pagi dok! telinga kiri anak saya berdarah dokter. tolong diperiksa"
d: "awalnya kenapa?"
s: "seperti gatal dokter, tetapi memang serumen telinga kiri dan kanan anak saya berbeda. yang satu keras membatu, yang satunya lunak dan sedikit basah"
d: "mulai kapan bu?"
s: (mulai ragu, menatap ke suami) "mulai kapan hun? sebulan? sejak Ecio lahir?"
su: "sepertinya seminggu-dua minggu terakhir dok, agak lama kok"
d: "ada demam?"
s: "gak"
d: "batuk?"
s: "gak"
d: "pilek?"
s: "enggak dok"

Sampai sini ekspresi dokter di awal yang agak-agak gimana gitu menangani bocah 4 tahun menjadi sumringah. Dan sepertinya beban berat buat menjelaskan banyak hal tidak perlu muncul, karena kami termasuk pasien yang datang ke ruang periksa dengan bekal informasi. Tidak dengan pengetahuan kosong. "Baik bu, saya periksa dulu anaknya", begitu kata dokter. Segera saya menyiapkan E-boy. "Sayang, kalau sakit bilang ya Nak".

Dan beruntungnya E-boy ini penurut. Setiap arahan dokter THT, E-boy menurut. Setelah diperiksa bagian tenggorokan, dan telinga kiri-kanan, ternyata hanya ada kotoran. Di telinga kiri yang berdarah itu berasal dari luka gores di bagian dinding luar (tidak sampai ke bagian-bagian telinga lebih dalam). Kami tidak tahu dari mana luka gores itu. Saya pun puas karena keluar dari ruang periksa tanpa membawa resep. Telinga E-boy sudah dibersihkan oleh dokter.

Pesan dari dokter kepada E-boy "telinganya jangan dikorek ya, tidak boleh dimasukkan benda apapun termasuk jari". Sekarang E-boy jadi lebih penurut lagi terhadap perkataan saya. Kalau telinganya gatal selalu laporan dan saya bisa menentukan apakah perlu dibersihkan sendiri atau pergi ke dokter THT. Memang mencegah lebih baik daripada mengobati http://eemoticons.net

Seminggu kemudian kami pergi ke dokter anak. Kali ini untuk mengimunisasikan E-baby. Tidak ada ekspektasi apa-apa ketika berangkat. Bahkan saya pun bersiap untuk mendengarkan saran penambahan susu formula dari dokter anak. Karena kami menggunakan jasa dokter yang sama dengan dokternya E-boy. Dan pada waktu dulu itu dokter tersebut menyarankan susu formula merk X dan mengatakan kalau hanya memerah ASI saja tanpa disusukan langsung maka ASI saya akan cepat kering.

Ah saya memang keras kepala dari dulu. Saran dokter tentang susu formula merk X hanya lewat saja. Kegiatan perah memerah ASI terbukti lancar hingga dua tahun. Begitu juga kali ini, saat saya memeriksakan E-baby. Saya juga harus sama keras kepalanya. Eh tak dinyana dokter tersebut berkata seperti berikut setelah memeriksa kondisi E-baby: "bu, ini putra ibu grok-grok... ada kemungkinan alergi. ASI nya diteruskan ya jangan ditambah apa-apa lagi".

 http://eemoticons.net Saya sempat bengong beberapa saat. Haaaaaaa..... kejutan!! Dokter ini sekarang pro ASI toh?! Alhamdulilah.... Percakapan berikutnya membuat saya lebih terbuka. Kami banyak berbicara dalam bahasa medis. Dan senangnya saya ketika permintaan saya tentang spuit sisa imunisasi dikabulkan. Spuit imut-lucu terbuat dari kaca pun saya miliki dengan pesan "disterilisasi dulu ya bu". Sekarang menjadi barang koleksi baru di rumah.

Setiap orang pasti berubah! Mau ke arah positif atau ke arah negatif itu urusan personal dan tergantung sudut pandang yang dianut. Keberhasilan RUM (rational use of medicine) harus dimulai dari diri sendiri. Percuma berburu dokter yang RUM kalau kita sendiri tidak pro aktif, tidak memberi sinyal pada dokter bahwa pasien-pasien sekarang bisa diajak diskusi dan punya kedudukan setara. Dokter tidak lebih superior daripada pasien kok.

Salam ASI dan RUM, say no to PUYER!