Minggu, 24 Februari 2013

Naik Angkot Itu.... (jilid 1)

Ini pengalaman masih segar. Baru terjadi kemarin sore. Ceritanya saya dan suami plus anak harus menjenguk uti di mergosono. Singkat cerita, perjalanan dari lawang ke mergosono di pagi hari sangat lancar. Tidak terjebak macet. Angkot cenderung sepi, tidak ada bau-bau yang mengganggu (terutama rokok dan parfum). Alhamdulilah, E-boy tidak muntah. Ceria sepanjang perjalanan. Lain halnya ketika perjalanan pulang dari mergosono ke lawang di sore harinya (sekitar jam lima sore). Kami menumpang angkot jurusan AMG. Cukup penuh.

Lagi-lagi kami beruntung karena tidak ada perokok. E-boy yang kelelahan akhirnya tertidur di pangkuan saya. Di angkot ini saya agak curiga dengan jenis musik yang diperdengarkan. Agak nge-rock! Sungguh anomali kalau biasa-biasanya yang diputar adalah musik dangdut. Saya lirik bagaimana rupa sang sopir (tidak mungkin kelihatan wajahnya lah, karena dari bangku belakang). Tetapi saya bisa memperkirakan: umur sekitar 30-an tahun, kulit hitam, rambut keriting kayak mie instan sebahu dan tergerai, orang rada sinting. Kesintingannya saya ketahui dengan jelas ketika memasuki area terminal, si sopir mengendarai angkot dengan ugal-ugalan. Ngebut berusaha menyalip truck yang tak mau kalah pula.

Doh hati saya mencelos! Hanya bisa berdoa. Untung E-boy tetap pulas tak terganggu acara nyetir si sopir sinting. Di sini pula saya mengetahui satu jenis ibu yang menurut saya sangat aneh: berbicara judes dan galak, penuh bentakan ke kedua putranya tetapi bertutur kata manis, ramah, obral senyum ke penumpang lain. Ketika ketiganya turun dari angkot, saya hanya bisa memandangi anak-anak itu dari dalam angkot yang semakin menjauh. Kasihan benar anak-anak itu... Wajahnya begitu kelelahan dan begitu merindukan kehangatan ibunya.

Naik LA tak kalah hebohnya. Karena badan sangat lelah, saya dan E-boy memilih duduk di depan. Mumpung masih kosong. Dengan harapan kalau sopirnya agak sinting, saya bisa segera protes dengan cara santun. Ternyata sopir LA ini lumayan sepuh (tua). Saya tenang. Tetapi suami memutuskan di bangku belakang. Mungkin supaya saya dan E-boy cukup nyaman di bangku depan. Sebenarnya saya tidak menjumpai sesuatu yang aneh. Tetapi suami saya di bangku belakang menangkap adanya ketidak-beresan. Ada beberapa penumpang yang naik secara terpisah namun diduga merupakan sekawanan pencopet/pencuri/penodong/mafia yang berpura-pura sebagai penjual buku. Mereka bayak sekali omongnya.

Saya baru merasa aneh ketika sang sopir meminta suami saya pindah ke bangku depan. Tetapi karena harus tahu diri, tahu tempat, tahu situasi maka saya tetap tenang sampai tiba di mana kami harus turun. Begitu turun pun kami tetap membisu. Berusaha mengamankan E-boy sampai di rumah dengan selamat. Segera kami ubah suasana melelahkan itu dengan menikmati hembusan angin dari dokar yang kami tumpangi menuju lokasi perumahan. E-boy senyum lebar, tertawa ceria. Saisnya juga ramah, mengajak E-boy ngobrol mengenai kuda. Bahkan disuruh mengelus-elus kuda yang tergolong jinak itu.

Sampai di rumah, bongkar muatan. Membahas apa yang ada di dalam LA, terhantam pusing parah. Suami sih pusing biasa. Tetapi saya mengalami pusing luar biasa. Terkena migrain di sebelah kiri. Membuat saya terkapar beberapa jam di kasur menemani E-boy yang masih saja beraksi bak kuda jantan berlari sambil berseru "ketoplak... ketoplak... ketoplak...". Naik angkot selalau banyak tidak enaknya... Semakin tidak aman, tidak nyaman, tetapi hanya ini satu-satunya alat transportasi yang murah meriah (dasat emak irit). Dan semakin melelahkan ketika kita mengajak serta balita yang kudu dijaga keselamatannya.

Lanjut ke jilid 2 lho... (klik di sini) dan tips aman naik angkot bisa di klik di sini.

0 comments: