Untuk model dan pemilihan warna benang, saya serahkan sepenuhnya kepada Mbak Izzah. Saya hanya menceritakan kebutuhan dan keinginan saya saja. Warna kuning gading/putih tulang dipilih karena tergolong netral. Selama sebulan itu saya mereka-reka model capelet apa yang akan saya terima.
Akhirnya capelet kuning gading cantik saya terima. Tak menunggu lama, saya segera mencobanya. Aduhaaaaiiiii.... ternyata ngepas di badan saya. Bisa dipadu-padan dengan banyak busana. Cocok untuk segala kondisi (asal tidak kehujanan). Ayooo dilihat capelet-nya....
capelet kuning gading dipadu dengan sleeveless mermaid dress boleh percaya boleh tidak, gaun ini sudah berumur belasan tahun |
capelet kuning gading dipadu dengan kemben smock dan rok panjang |
Dari niat memadu padan dengan berbagai pakaian, sesi fotonya harus dihentikan dengan dua baju saja. Eh, ternyata lusanya saya harus ke kebun teh. Kebetulan saya ingin tampil ala saya. Jadinya begini saudara-saudari:
tampilan casual-semiformal (ear cuff by Miranda Agustina, clutch by Maria Magdalena) |
Dari sekian banyak koleksi handmade saya, capelet ini yang agak sulit perawatannya. Proses pencucian yang tidak boleh disikat dan diremas. Proses pengeringan yang harus digulung ke dalam selembar handuk. Juga proses penjemuran yang harus di bidang datar merupakan kesulitan tersendiri. Tidak boleh disetrika dan tidak boleh digantung (apalagi dijepit dengan jepit jemuran) menambah daftar panjang kerepotan yang ada.
Tetapi, kita tidak boleh memperlakukan hasil buatan tangan dengan semena-mena. Ada nilai seni di dalamnya, ada sebagian jiwa pembuatnya yang ada pada karya handmade. Terkadang banyak orang awam yang menilai handmade itu mahal (padahal mahal-murah itu relatif), tidak bisa simetris. Tidak sempurna. Justru ketidak-sempurnaan itu lah yang menjadi daya tarik tersendiri. Dan yang selalu dicari-cari pada setiap handmade adalah ciri khas dan orisinalitas.
0 comments:
Posting Komentar