Senin, 28 Oktober 2013

Apa yang Saya Syukuri Pagi ini

Bagai mimpi bisa mengurus dua anak seorang diri tanpa bantuan, entah itu orang tua/mertua/asisten rumah tangga/baby sitter. Di saat suami harus berangkat lebih pagi dan pulang lebih malam (bukan sekedar pulang lebih sore), tentu jungkir baliknya terasa. Sangat terasa malah. Lelah dan stres-nya bagai di ubun-ubun. Ini lah yang dinamakan ujian kesabaran.

Pagi ini begitu damai, tidak ada E-boy yang mengikuti saya di dapur. Cukup aneh sebenarnya. Hening yang harus diwaspadai. Lalu saya pun teringat E-baby yang saya tidurkan di kamar, tidak di baby crib. Ingatan itu cukup membuat saya berlari ke kamar. Ketakutan sesuatu terjadi pada E-baby jelas ada. Dan apa yang saya temui??

tidur ya dek... jangan menangis...

memandang dengan penuh kasih sayang

Air mata segera menyeruak saat saya mendapati pemandangan seperti foto di atas. Saat saya tanya "Erdi sedang apa?". Jawabannya sederhana namun sangat mengharu biru. "Jaga adek, adeknya kasihan gak bisa apa-apa". Hiiiiiksss... rasa syukur kepada Allah tiada henti. Betapa banyak kemudahan yang kami rasakan sejak awal kehamilan.

Semoga saja kakak-adek ini selalu rukun. Saling membantu, saling menjaga, tidak merepotkan dan memusingkan orang tuanya. Terlebih-lebih bunda-nya ini. Mari bekerja sama Nak-Kanak... Mari menciptakan lingkungan yang penuh kebahagiaan.

Kamis, 24 Oktober 2013

Sabar yaaaa Nak!

Budayakan antri!

Mengajarkan anak untuk antri memang tidak mudah. Antri berkaitan dengan kesabaran seseorang. Minggu yang lalu saya harus periksa kandungan. Niat awal adalah berangkat jam 8 pagi agar antrian tidak terlalu lama dan E-baby tidak kepanasan di kendaraan. Sayangnya karena kesibukan seorang diri (suami kerja), menyiapkan dua anak untuk bepergian itu tidak bisa seperti menjentikkan jari.

Mulai dari memandikan dan menyiapkan bekal, ternyata lama juga. Akhirnya kami baru bisa berangkat jam 9 pagi. Saya bersyukur hari itu ada ibuk yang mengantar dan bisa menjaga E-baby di kendaraan (masih karantina, sesedikit mungkin terpapar dengan manusia lain). E-boy ikut saya ke RS. Saat mengambil no antrian, sedikit kaget. Saya mendapat no 18. Sebenarnya saya sudah ragu. Sanggup ataukah tidak mengantri sepanjang itu...

Tetapi mengingat saya sudah terlambat dua minggu dari jadwal kontrol dan jadwal-jadwal ke depan masih padat, hanya ada satu kata: nekad! Antri di bagian admistrasi hampir membuat frustasi. Panas mentari cukup menyiksa. Orang-orang berjubel. Tempat duduk terbatas. E-boy bahkan berdiri. Saya tidak tega hati sebenarnya.

Dari tiga petugas yang ada, hanya satu yang bekerja sangat efisien. Seorang perempuan muda yang cekatan. Saya emosi saat itu melihat dua petugas lainnya: seorang laki-laki dan seorang perempuan paruh baya. Mengapa? Yang perempuan paruh baya selalu asyik dengan hp-nya, yang laki-laki selalu berpura-pura menjadi dokter. Kenapa saya bisa bekesimpulan demikian?

Pendek cerita berkas saya pernah dibawa ke poli umum oleh petugas laki-laki itu. Hanya karena keluhan saya nyeri/kram di bagian perut. Saat itu saya sudah meminta untuk periksa ke poli kandungan. Itu cerita dulu. Semenjak peristiwa itu yang antri di bagian administrasi selalu suami. Nah kemarin, saya harus mandiri dan menghadapi semuanya sendiri.

Sekitar satu jam saya mengantri. E-boy mulai tampak lelah, berkeringat, wajahnya memerah. Sampai akhirnya saya melihat kursi kosong. Buru-buru saya dudukkan E-boy di sana. Saya? Tetap berdiri. E-boy mengeluh "bunda, Erdi lapar". Duh saya bingung harus bagaimana, tetap mengantri atau menuju toko. Akhirnya saya putuskan menunggu sebentar lagi.

Hanya kalimat "sabar ya Nak, bentar lagi bunda dipanggil". E-boy kasihan sekali. Tidak sedikit pun ia rewel. Duduk manis sambil diam. Sesekali saya peluk dan berujar sekali lagi "sabaaar yaaaa Nak". Sekali lagi. Sekali lagi. Dan entah berapa kali saya berujar demikian. Yang jelas level emosi saya sampai turun karenanya. Padahal semula saya ingin menendang-nendang apa yang ada.

Begitu urusan administrasi selesai, segera saya membawa E-boy ke toko. Yang diminta olehnya hanyalah sebuah bakpao dan sebotol minuman. Ternyata antri menunggu panggilan dokter tidak lama. Hanya 10-15 menit. Ya Allah, sebal sekali saya hari itu dengan bagian administrasi. Tetapi saya berterima kasih kepada E-boy.

Berterima kasih karena kesabarannya telah mengajarkan banyak hal buat bunda-nya. Berterima kasih atas sikap manisnya (meski sempat sedikit berulah di ruang periksa). Dan berterima kasih karena telah menjadi anaknya bunda. Bunda belajar tiada henti karenamu Nak...

Minggu, 20 Oktober 2013

Cerewet yang Positif

Saya membuat pengakuan!
Semakin bertambahnya usia saya, ternyata makin cerewet. Terlebih-lebih ketika E-baby lahir. Bukan berarti saya menjadi orang yang menyebalkan (entahlah bagi orang lain). Setidaknya saya berusaha cerewet dengan cara santun. Kecerewetan saya ini dimulai ketika proses melahirkan dimulai sebulan yang lalu. Ketika itu di rumah sakit, kecerewetan saya bermula di ruang pemulihan. Sedikit-sedikit tetapi rinci dan berulang-ulang.

Tanggal 10 yang lalu, kami sudah membuat jadwal dengan dokter anak. Berencana imunisasi BCG, polio dan hepatitis B. Jangan tanya mengapa jadwalnya acak adul. Satu hal ini sempat terlupa oleh kami. Dan begitu sadar, ada imunisasi yang terlambat, segera kami membuat janji dengan dokter anak sambil mengaduk-aduk informasi dari internet, juga membaca ulang buku Q&A. Akhirnya saya mendapat sebuah pemahaman (teringat kembali) kalau vaksin hidup dan vaksin hidup minimal berjarak 4 minggu.

Berbekal dari informasi tersebut, kami membawa E-baby ke RSIA. Sehingga jadwal yang terlambat tidak mengakibatkan keterlambatan yang lebih terlambat (halah bahasanya.....). Intinya di bulan kedua besok, imunisasi E-baby bisa sesuai jadwal IDAI (ini tiap tahun kok berubah terus yak?!). Datang sebelum jam praktek dokternya, dan sudah mendapat antrian no 8. Hmmmm.... semakin siang semakin banyak antrian yang ada.

Banyaknya anak-anak dan bayi yang mengantri di dokter pasti membuat siapa saja berkurang konsentrasinya. Saat di dalam ruang praktek, kami dibuat panik oleh E-boy. Suster sampai tidak sengaja memencet vaksin BCG dalam suntikan. Terbuang percuma sudahlah satu dosis itu. Setelah pemeriksaan kesehatan, ketahuan muncul granuloma di bagian pusar E-baby (nanti saja membahas satu kata ini ya). Yang membuat saya suka dengan dokter anak pilihan kami adalah selalu memberikan diagnosa dalam bahasa medis.
.
Keluar dari ruang praktek, saya sudah senyum-senyum riang. Saat di kasir, kecerewetan saya kembali muncul. "Sayang, tadi adek dapat berapa suntikan dan berapa tetesan?". Tanya saya kepada suami hanya mendapatkan sebuah jawaban: "cuma suntikan BCG dan hepatitis B". Saya berusaha meyakinkan suami dan diri sendiri apakah benar vaksin polio belum diberikan. Dan ternyata kami sama-sama tidak ingat.

Kemudian saya meminta suami untuk menanyakan suster. Kami pun menunggu sampai pintu ruang praktek terbuka. Dan memang iya, suster dan dokter belum memberikan vaksin polio. Suster senyum-senyum dan meminta maaf keteledorannya pagi itu. Saya tidak bisa membayangkan apa jadinya bila saat itu langsung pulang ketika urusan pembayaran selesai. Keterlambatan jadwal imunisasi bisa menjadi keterlambatan yang lebih terlambat. Atau bahkan tidak lengkap imunisasinya.

Dan akhirnya saya bersyukur dianugerahi kecerewetan ini. Kecerewetan dalam tanda positif selalu menyelamatkan kita dari penyesalan kok. Selamat pagi, selamat berhari minggu, dan selamat mempersiapkan kesibukan buat minggu depan. Semanggaaaaaaaaaaaaaaaat ^_^

Jumat, 04 Oktober 2013

Trauma dan Proses Penyembuhannya

Saya tidak pernah menyadari sebelumnya. Pemisahan ibu dan bayi yang saya alami tahun 2009 lalu ternyata meninggalkan trauma yang cukup besar. Trauma itu mengendap dalam alam bawah sadar. Proses kelahiran yang diluar rencana. Rasa sakit yang luar biasa. Dan saya sebagai seorang ibu adalah orang terakhir yang tahu wajah bayi saya.... Ya... itu adalah awal mula rasa trauma itu. Pada perjalanan selanjutnya trauma yang tidak saya sadari itu berkembang menjadi baby blues syndrome (bisa menjadi postpartum depression).

Enggan rasanya merawat bayi. Dukungan suami dan ibu untuk tetap berusaha menyusui saya rasakan sebagai tekanan. Hingga akhirnya bayi yang bingung puting itu pun selamanya mendapatkan ASI via botol. Ya! Saya menyerah dalam usaha menyusui langsung. Baby blues syndrome tidak terlalu lama bercokol. Minggu demi minggu berikutnya saya berhasil melakukan ikatan batin dengan bayi saya. Tetapi rasa gagal sebagai ibu (gagal menyusui) selalu menjadi momok. Menyebabkan rasa rendah diri dan berakhir dengan macetnya produksi asi (selain karena faktor kelelahan dan bebas stres lainnya).

Keberhasilan meningkatkan produksi ASI membuat rasa percaya diri kembali pulih. Trauma itu sembuh? Kalau kita tidak tahu apa penyakit kita,,, apa lantas kita bisa mengobatinya?? Trauma itu hanya ditidurkan di alam bawah sadar. Cerita selanjutnya meloncat ke proses kelahiran anak kedua. Selama di RS, trauma itu perlahan-lahan muncul. Melihat si sulung yang begitu manis, pengertian, penurut, tidak rewel, dan mau bekerja sama dengan nenek di rumah... membuat saya trenyuh.

Air mata demi air mata mengalir begitu saja selama di RS. Duh... mengapa harus mengalami perpisahan lagi dengan anak sulung?? Air mata kembali berlanjut ketika sampai di rumah. Saat si sulung rewel minta dimandikan bundanya. Waktu itu saya baru saja mandi dan mencuci rambut. Rambut saya masih basah. Setelah si sulung rapi dan wangi, tiba-tiba dia mengambil sisir dan hair dyer yang saya pegang.

"Bunda, Erdi aja yang ngeringkan. Rambut bunda panjang... Bunda suka ya rambut panjang?". Saya biarkan si sulung bermonolog sambil menyisir kemudian mengeringkan rambut saya bak penata rambut profesional. Saya menangis sejadi-jadinya. Tak ada yang tahu. Menangis adalah salah satu bentuk terapi penyembuhan jiwa. Semua memori asal muasal trauma itu kembali terpampang. Lama saya menangis, sampai rambut saya kering oleh hair dryer. Setelah tangisan itu reda... rasa lega luar biasa! Saya peluk hangat tubuh si sulung sambil berbisik "maafkan bunda ya Nak, maafkan untuk setiap keterbatasan yang bunda punya".