Jumat, 06 Desember 2013

Arti Sebuah Perpisahan

Kali kedua melepaskan si sulung pergi menginap di rumah nenek dalam kurun waktu satu bulan.. Terasa sekali perihnya..

Kali pertama E-boy pergi ketika sehat dan sangat ceria. Waktu itu terlintas di benak saya "oke, merawat bayi satu pasti mudah... aku dan hunny bisa sedikit pacaran". Rupanya pemikiran itu naif sekali. Ketika malam datang... E-baby berubah menjadi sosok bayi yang sangat tidak kami kenali. Tangisannya begitu memilukan. Menjerit-jerit, muka memerah. Disusui pun tidak menghentikan tangisannya. Berusaha berontak dan tidak mau tidur. Saat mata akan terpejam, sontak ia menggelengkan kepalanya. Horor tangisan pun kembali dimulai. Begitu itu sepanjang malam.

Saya dan suami kehabisan cara membuatnya tenang. White noise yang kami putar tak meredakan tangisannya. Pagi menjelang, saya meminta nenek memulangkan E-boy. Begitu E-boy pulang, E-baby takhluk dalam kantuk. Tidur nyenyak. Saya hanya bergerak berdasarkan naluri. Saya merasa anak bungsu ini mencari kakaknya. Tidak genap bila tidak ada kakak yang selalu ramai. Kakak yang menyanyanginya, menciuminya, mengajaknya bicara, menjaganya, memeluknya...

Kali kedua E-boy menginap pergi adalah sebuah keterpaksaan. Dalam kondisi sakit dan sedih. Belum sempat kami memberikan hadiah ulang tahun ke-4 kepada E-boy, hadiah berupa penyakit mumps/parotitis/gondongan datang menghadang. Malam setelah kami merayakan ulang tahun E-boy, kira-kira pukul setengah satu dini hari, E-boy terbangun. Saya sedikit curiga saat E-boy memeluk erat ayahnya. Tidak biasanya ia manja begitu. Setelah buang air kecil, E-boy menjatuhkan badannya ke saya.

Menempel erat minta peluk. Saya tanya "kenapa sayang?". Dan E-boy menjawab "sakit bunda". Investigasi singkat saya lakukan. Bagian yang sakit adalah pipi bagian kanan dekat dengan telinga bawah. Asumsi pertama saya mungkin karena sakit gigi. Maklum kue ulang tahunnya kan rasa manis, berwarna coklat. Ayahnya sadis! E-boy disuruh membuka lebar mulut, geraham kiri kanan E-boy ditekan kuat-kuat. Sontak E-boy menangis dan menjerit. Saya tidak bisa protes. Tidak ada pilihan lain... Saya dekap E-baby agar tidak terbangun.

Sekilas saya melihat pipi kanan E-boy yang dirasakannya sakit. Kok tiba-tiba membesar. Membengkak dengan cepat. Nenek masih saja berargumen, mungkin ini mungkin itu. Kepanikan di malam hari ini membuat saya menjerit tegas "ini gondongen deh. ambil paracetamol sirup, takar 5 ml". Kira-kira dua kali kalimat itu saya ulang. Suami cukup mengerti kapan saya tidak bisa dibantah. E-boy sempat tak mau meminum obatnya. Ya! Karena obatnya berasa ajaib. Rasa mint dengan warna hijau apel. Kami membujuknya untuk meminum habis paracetamol tersebut.

Sepanjang malam saya tidak bisa tidur. Saya browsing sampai kepala dan mata terasa hampir lepas dari posisinya. Benar saja. Keesokan harinya, bengkak di pipi E-boy makin besar. Saya takut adiknya, E-baby, tertular juga. E-boy sedih sekali. Bukan karena sakitnya tetapi karena tidak boleh dekat-dekat dengan adik. Dengan bujukan ringan, E-boy pergi menginap di rumah nenek selama dua hari. Sungguh pilu hati saya. Menyesal lantaran tidak memberikan imunisasi MMR kepada E-boy. Saya memang ceroboh dan menyepelekan penyakit ini.

Pesan saya kepada nenek adalah: "Paracetamol diminumkan kalau panas sekali atau Erdi rewel akibat rasa sakit. Makanan dan minuman yang rasanya kecut harus dihindari". Dari pagi hingga sore, E-baby masih tenang. Saat saya dan suami menelpon E-boy (tentu suaranya dikeraskan), E-baby seakan mencari sumber suara. Tengok ke kanan dan ke kiri, tetapi bayangan mas-nya tidak ditemukan. Malam harinya? Episode nangis jejeritan semalam suntuk kembali hadir. Parah! Lebih parah dari pengalaman sebelumnya.

Keesokan harinya, perasaan saya makin limbung. Tidur kurang. Akhirnya saya membaca-baca dan menemukan sebuah istilah attachment theory. Rupanya bagi E-baby, satu paket itu artinya ayah-bunda-mas Erdi. Di malam kedua, saya punya trik tersendiri mengakali E-baby yang kehilangan E-boy. Apakah itu? Yaitu dengan menidurkan E-baby di tempat mas-nya biasa tidur. Menggunakan bantal-guling mas-nya. Dan malam itu pun saya dan suami bisa tidur.

Ketika E-boy pulang, E-baby tampak gembira. Sungguh hati saya masih sedikit perih. Penyesalan dan rasa tak berdaya menggelanyut. Menyesal karena tidak memberikan imunisasi MMR. Tak berdaya karena tak bisa merawat anak yang sedang sakit. Lega dan sedikit tak ikhlas ketika E-boy pulang, yang pertama dipeluk dan dicium adalah adiknya... Sedangkan saya menjadi urutan kedua. Duuuhh.... Bunda pun sangat rindu Nak... Betapa berartinya kesehatan dan kebersamaan. Perpisahan ini mengajarkan saya untuk lebih bijaksana dan berpikir dua kali sebelum memutuskan sesuatu...

0 comments: