Rabu, 23 November 2011

Tumbang Sekeluarga

Harusnya kalau sudah berkumpul kembali, satu keluarga utuh, bisa dilewati dengan suka cita. Tidak demikian dengan keluarga kami. Minggu subuh, saya dan E-boy masih bisa ketawa bersama si ayah yang baru saja datang dari Jogja, membongkar aneka oleh-oleh. E-boy dapat 5 bungkus, coklat semua! Saya mencicipi kripik kulit mlinjo yang belum saya makan sebelumnya. Kalau mlinjonya sih sering. Lima butir saja cukup karena tidak kuat dangan rasa asinnya yang sungguh terlalu. E-boy pun ikut mencicipi. Kalau tidak salah hanya satu atau dua butir. Pikir saya tidak mengapa, toh tidak pedas.

Tidak disangka, magrib di hari yang sama, pencernaan saya mulai bermasalah. Diare. Saya belum panik. Karena frekuensinya masih 1-2 kali. "Ah nanti akan segera normal", kata saya dalam hati. Hari senin, diare masih berlanjut.. Doeeenggg!! Mulai lemes badan ini. Pagi itu saya mulai merasa ada yang berubah dengan E-boy. Yang biasanya menjadi si lahap. Kali ini kok makannya diemut yaaa.... Saya peluk terus dari pagi sampai siang. Pagi itu karena saya juga tidak enak badan, saya mengajak E-boy di kasur... Sekitar jam 12 siang, saya merasakan suhu badan E-boy yang meningkat drastis. 39,9 DC. Tidak ada persediaan paracetamol. Saya sms suami minta dibelikan paracetamol di apotek terdekat. Saya yang lemas hanya bisa memeluk erat, perbanyak skin to skin contact.

Paracetamol sampai rumah sekitar jam setengah dua siang. Harganya sungguh ajaib. Hanya Rp. 3.200 saja, padahal itu dua jenis obat: sirup dan tablet. Cuma hitungannya aja yang agak ribet, dalam 5 ml terkandung 120 mg. Berat badan E-boy 11,1 kg. Dan dosis paracetamol yang seharusnya diberikan adalah 10-15 mg per berat badan. Jadi tidak masalah saya beri 5 ml karena masih dalam rentang dosis yang aman (walaupun saya lebih suka memberikan dosis terendah, yaitu 10 mg per berat badan). Pemberian paracetamol hanya menurunkan 0,3 DC. Sore harinya saya coba suapi makan. Sukses dimuntahkan. Asumsi saya mungkin karena eneg. Saya ganti dengan puree apel. Habis satu mangkuk kecil.

Saya mencoba kompres air hangat, ternyata E-boy malah ndak nyaman. Mengajaknya berendam air hangat bisa-bisa tantrumnya kumat. Bingung... Karena suhu tubuh masih tinggi, maka paracetamol saya berikan lagi. Pakaian saya pilihkan yang tipis aja. Eh muntah.. Saya posisikan miring (muntah saat tidur) agar muntahannya tidak masuk ke paru-paru. Diare mulai muncul. Hampir tidak berhenti sepanjang malam. Dua lusin popok habis malam itu juga. Untungnya saya punya persediaan oralit beberapa bungkus. Saya minum untuk diri sendiri juga untuk E-boy. Saya minta tolong suami untuk membuat air rebusan kacang hijau. Kacang hijaunya dibuat bubur. Sedikit paksaan, cairan dan sedikit makanan masuk ke dalam perut E-boy.

Malam senin itu saya merasa tidak sanggup. Melihatnya begitu lemas, tidak kuat membuka kelopak mata, sungguh membuat hati teriris. Kuatir juga dengan yang namanya demam kejang. Ingin rasanya melarikan E-boy ke UGD. Tapi melihat suami begitu tenang, saya terbawa tenang juga. Suhu badan E-boy tidak bergeming di angka 38-39 DC. Setiap kali diare, saya atau suami sedikit memaksa meminumkan oralit dan air putih. Paracetamol ketiga saya berikan selasa subuh. Saya buatkan orak arik telur. Terimakasih ya Allah, masuk juga satu piring kecil. Tidak ada kejang demam. Semua berjalan dengan aman terkendali. Menjelang maghrib si ayah (yang paling banyak makan kripik kulit mlinjo) mulai diare juga... Welcome to the party, Darling... ha ha ha *ketawa garing*

Selasa siang, terjadi perbaikan. Suhu tubuh E-boy kembali normal. Nafsu makan sudah ada meskipun hanya sedikit saja. Saya tawarkan aneka jenis makanan. Roti. Yogurt. Nasi (thok tanpa lauk). Jagung rebus. Pisang. Semuanya sukses dimakan 2-3 suap. Diare masih menghantui. Namun frekuensinya sudah jauh berkurang. Heeeiiii.... saya sampai lupa kalau saya sendiri juga sedang sakit. Semoga saja diare ini segera hengkang dari kami sekeluarga...


(lanjutannya ada di Catatan Kesehatan)

0 comments: