Jumat, 04 Oktober 2013

Trauma dan Proses Penyembuhannya

Saya tidak pernah menyadari sebelumnya. Pemisahan ibu dan bayi yang saya alami tahun 2009 lalu ternyata meninggalkan trauma yang cukup besar. Trauma itu mengendap dalam alam bawah sadar. Proses kelahiran yang diluar rencana. Rasa sakit yang luar biasa. Dan saya sebagai seorang ibu adalah orang terakhir yang tahu wajah bayi saya.... Ya... itu adalah awal mula rasa trauma itu. Pada perjalanan selanjutnya trauma yang tidak saya sadari itu berkembang menjadi baby blues syndrome (bisa menjadi postpartum depression).

Enggan rasanya merawat bayi. Dukungan suami dan ibu untuk tetap berusaha menyusui saya rasakan sebagai tekanan. Hingga akhirnya bayi yang bingung puting itu pun selamanya mendapatkan ASI via botol. Ya! Saya menyerah dalam usaha menyusui langsung. Baby blues syndrome tidak terlalu lama bercokol. Minggu demi minggu berikutnya saya berhasil melakukan ikatan batin dengan bayi saya. Tetapi rasa gagal sebagai ibu (gagal menyusui) selalu menjadi momok. Menyebabkan rasa rendah diri dan berakhir dengan macetnya produksi asi (selain karena faktor kelelahan dan bebas stres lainnya).

Keberhasilan meningkatkan produksi ASI membuat rasa percaya diri kembali pulih. Trauma itu sembuh? Kalau kita tidak tahu apa penyakit kita,,, apa lantas kita bisa mengobatinya?? Trauma itu hanya ditidurkan di alam bawah sadar. Cerita selanjutnya meloncat ke proses kelahiran anak kedua. Selama di RS, trauma itu perlahan-lahan muncul. Melihat si sulung yang begitu manis, pengertian, penurut, tidak rewel, dan mau bekerja sama dengan nenek di rumah... membuat saya trenyuh.

Air mata demi air mata mengalir begitu saja selama di RS. Duh... mengapa harus mengalami perpisahan lagi dengan anak sulung?? Air mata kembali berlanjut ketika sampai di rumah. Saat si sulung rewel minta dimandikan bundanya. Waktu itu saya baru saja mandi dan mencuci rambut. Rambut saya masih basah. Setelah si sulung rapi dan wangi, tiba-tiba dia mengambil sisir dan hair dyer yang saya pegang.

"Bunda, Erdi aja yang ngeringkan. Rambut bunda panjang... Bunda suka ya rambut panjang?". Saya biarkan si sulung bermonolog sambil menyisir kemudian mengeringkan rambut saya bak penata rambut profesional. Saya menangis sejadi-jadinya. Tak ada yang tahu. Menangis adalah salah satu bentuk terapi penyembuhan jiwa. Semua memori asal muasal trauma itu kembali terpampang. Lama saya menangis, sampai rambut saya kering oleh hair dryer. Setelah tangisan itu reda... rasa lega luar biasa! Saya peluk hangat tubuh si sulung sambil berbisik "maafkan bunda ya Nak, maafkan untuk setiap keterbatasan yang bunda punya".

0 comments: