Kamis, 24 Oktober 2013

Sabar yaaaa Nak!

Budayakan antri!

Mengajarkan anak untuk antri memang tidak mudah. Antri berkaitan dengan kesabaran seseorang. Minggu yang lalu saya harus periksa kandungan. Niat awal adalah berangkat jam 8 pagi agar antrian tidak terlalu lama dan E-baby tidak kepanasan di kendaraan. Sayangnya karena kesibukan seorang diri (suami kerja), menyiapkan dua anak untuk bepergian itu tidak bisa seperti menjentikkan jari.

Mulai dari memandikan dan menyiapkan bekal, ternyata lama juga. Akhirnya kami baru bisa berangkat jam 9 pagi. Saya bersyukur hari itu ada ibuk yang mengantar dan bisa menjaga E-baby di kendaraan (masih karantina, sesedikit mungkin terpapar dengan manusia lain). E-boy ikut saya ke RS. Saat mengambil no antrian, sedikit kaget. Saya mendapat no 18. Sebenarnya saya sudah ragu. Sanggup ataukah tidak mengantri sepanjang itu...

Tetapi mengingat saya sudah terlambat dua minggu dari jadwal kontrol dan jadwal-jadwal ke depan masih padat, hanya ada satu kata: nekad! Antri di bagian admistrasi hampir membuat frustasi. Panas mentari cukup menyiksa. Orang-orang berjubel. Tempat duduk terbatas. E-boy bahkan berdiri. Saya tidak tega hati sebenarnya.

Dari tiga petugas yang ada, hanya satu yang bekerja sangat efisien. Seorang perempuan muda yang cekatan. Saya emosi saat itu melihat dua petugas lainnya: seorang laki-laki dan seorang perempuan paruh baya. Mengapa? Yang perempuan paruh baya selalu asyik dengan hp-nya, yang laki-laki selalu berpura-pura menjadi dokter. Kenapa saya bisa bekesimpulan demikian?

Pendek cerita berkas saya pernah dibawa ke poli umum oleh petugas laki-laki itu. Hanya karena keluhan saya nyeri/kram di bagian perut. Saat itu saya sudah meminta untuk periksa ke poli kandungan. Itu cerita dulu. Semenjak peristiwa itu yang antri di bagian administrasi selalu suami. Nah kemarin, saya harus mandiri dan menghadapi semuanya sendiri.

Sekitar satu jam saya mengantri. E-boy mulai tampak lelah, berkeringat, wajahnya memerah. Sampai akhirnya saya melihat kursi kosong. Buru-buru saya dudukkan E-boy di sana. Saya? Tetap berdiri. E-boy mengeluh "bunda, Erdi lapar". Duh saya bingung harus bagaimana, tetap mengantri atau menuju toko. Akhirnya saya putuskan menunggu sebentar lagi.

Hanya kalimat "sabar ya Nak, bentar lagi bunda dipanggil". E-boy kasihan sekali. Tidak sedikit pun ia rewel. Duduk manis sambil diam. Sesekali saya peluk dan berujar sekali lagi "sabaaar yaaaa Nak". Sekali lagi. Sekali lagi. Dan entah berapa kali saya berujar demikian. Yang jelas level emosi saya sampai turun karenanya. Padahal semula saya ingin menendang-nendang apa yang ada.

Begitu urusan administrasi selesai, segera saya membawa E-boy ke toko. Yang diminta olehnya hanyalah sebuah bakpao dan sebotol minuman. Ternyata antri menunggu panggilan dokter tidak lama. Hanya 10-15 menit. Ya Allah, sebal sekali saya hari itu dengan bagian administrasi. Tetapi saya berterima kasih kepada E-boy.

Berterima kasih karena kesabarannya telah mengajarkan banyak hal buat bunda-nya. Berterima kasih atas sikap manisnya (meski sempat sedikit berulah di ruang periksa). Dan berterima kasih karena telah menjadi anaknya bunda. Bunda belajar tiada henti karenamu Nak...

0 comments: