Sabtu, 07 Juli 2012

Siapa yang Salah? Di mana Salahnya?

Dua hari berturut-turut kami melakukan sebuah perjalanan kecil. Beberapa peristiwa tertangkap mata dan rasa. Sayang tidak bisa diabadikan oleh kamera. Karena ada rasa sungkan dan cepatnya arus kendaraan yang berlalu lalang. Sehingga saya tidak bisa mengabadikan peristiwa itu. Tapi kalaupun sempat, saya pasti jadi semakin sering berkaca-kaca sedih. Tak bisa berbuat apa-apa. Siapa yang salah? Di mana letak salahnya?

Peristiwa Satu
Menyempatkan bertamu ke sebuah penjahit perempuan. Penjahit ini langganan mama. Saya berniat mereparasi beberapa pakaian. Maksudnya adalah mengecilkan ukuran baju yang baru saja dibeli (bajunya sudah ukuran paling kecil). Sungguh saya agak terkejut ketika masuk ke rumah kecil itu. Dari luar tampak rapi, bersih, dan baru dicat. Warna biru muda yang cantik. Lantai rumahnya ternyata hamparan tanah, tanpa ubin atau keramik. Orangnya terlihat kurus, sangat malah! Kentara sekali kalau tekanan hidupnya sungguh berat. Duh, sedih langsung melanda. Saya tidak menyangka kalau hal seperti ini saya temui di kota. Ongkos reparasi hanya lima ribu rupiah per baju. Hmmm... tidak tega kasih uang pas, kembalian tidak saya ambil. Saya hanya berkata "untuk beli jajan si kecil bu".

Peristiwa Dua
Masih di rumah mama yang tergolong kota. Penduduknya memang bervariasi. Kesenjangan ekonomi makin tampak. Saya dan E-boy mendapat suguhan yang banyak. Memang mama suka sekali memasak, yang sayangnya kecintaan mama pada kegiatan memasak tidak menurun sama sekali kepada saya (hehehehe). Di meja ruang tamu yang pintunya terbuka itu disajikan berbagai makanan. Ada semangkuk kolak yang isinya rame (pisang, tape, dan singkong). Sepiring nasi goreng, semangkuk telur puyuh kupas, dan bandeng presto. Tak lupa telor dadar. Beberapa jenis minuman: kopi, teh, air putih. Buat kami ini bukanlah makanan mewah yang mahal. Makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Tetapi sesuatu yang biasa ini menjadi sesuatu yang 'wah' buat beberapa orang. Tiba-tiba ada dua anak laki-laki sekitar 10-an tahun yang kurus. Rambutnya berwarna merah terang, khas anak kurang gizi. Tidak memakai sandal/sepatu. Kaosnya sedikit lusuh. Mereka berdiri di depan pintu rumah mama. Dan memandang ke arah makanan di meja. "Wiii panganane enak-enak yo?!" (wiii makanannya enak-enak yaa), itu kalimat yang saya dengar dari salah seorang anak. Bingung tak tahu bagaimana bersikap. Mama yang masih sibuk masak di dapur (berniat membuat bakmi goreng) dan ayah yang masih pergi ke rumah mbah Yan, meninggalkan saya dan E-boy sendirian. Ingin saya memberikan makanan-makanan ini, apa daya takut mama tersinggung. Duh... Anak-anak itu tak lama berdiri di depan pintu. Sesaat setelah saya melihat ke arah mereka, mereka lari begitu saja. Yang tersisa hanya nanar...

Peristiwa Tiga
Sepanjang perjalanan Lawang-Malang, saya banyak melamun. Maklum macetnya sangat menyiksa. Ayah nyetir, E-boy duduk di car seat sambil bermain sendiri dengan mobil-mobilan yang memang harus dibawa ke manapun. Senjata anti rewel dah! Di antara lamunan, saya menangkap sekumpulan anak-anak yang biasa mangkal di sekitaran traffic light. Mereka berkerumun. Karena bentuknya agak berbeda, mata saya lebih terfokus ke arah itu. Terhitung 5 anak membentuk lingkaran kecil di pinggir jalan, dan seorang anak yang bebas dari lingkaran tapi duduk berdekatan dengan yang membentuk lingkaran. Ternyata itu adalah kondisi di mana mereka harus berbagi sebungkus makanan. Lima anak untuk satu bungkus nasi campur dan satu bungkus yang dimakan sendiri. Haduuuuhh.... air mata saya langsung memenuhi kelopak... Lampu lalu lintas segera berganti warna hijau. Kami melaju lagi membelah padatnya arus lalu lintas.


Sekarang saya masih suka mewek kalau ingat semua itu.... Negara dan pemerintah ke mana? Dinas sosial sibuk mengerjakan apa?

0 comments: