Jumat, 12 Oktober 2012

Semua Rasa ada di Bulan Oktober (jilid 2)

Hampir 5 jam bertahan menangani suhu panasnya Erdi tanpa paracetamol. Beruntung tidak ada rewel. Air mata  yang menggenang cukup mengatakan kepada saya bahwa badannya memang sangat panas. Dengan telaten saya suguhkan semua yang mampu saya berikan: segelas oralit rasa jeruk, semangkuk nasi+lauk (yang hanya dimakan beberapa sendok), semangkuk serbat tomat. Air putih sesering mungkin. Cukup banyak juga kan makannya untuk bocah yang sakit? Alhamdulilah!

Karena kondisi saya yang ekstra tegang, setiap mendengar suara sepeda motor, badan saya langsung berlari menuju pintu. Ternyata bukan suami yang pulang. Berkali-kali seperti itu. Hingga akhirnya suami datang. Belum lah pintu pagar terbuka, suami sudah memberikan sekantung obat-obatan. Semua yang saya pesan (kecuali termometer digital). Saya intip sekilas kok rada aneh ya paracetamolnya? Sebotol murni, tidak ada bungkus kardusnya. Harga eceran tertingginya Rp. 2.156, tiap 5 ml mengandung 120 mg paracetamol.

Karena suhu tubuh Erdi sudah agak turun, obat saya sisihkan dulu. Giliran nasi kotak keluar dari tas suami. Sebetulnya itu jatah makan siang suami pas rapat tadi. Tetapi beliaunya tak selera makan mendapati laporan saya tentang Erdi yang panas. Cemas juga kalau perut suami kembali sakit. Dirayu model apapun via sms, nyatanya sekotak nasi itu tiba di rumah masih utuh. Dari sekotak itu bisa dimakan rame-rame bertiga. Khusus untuk Erdi hanya makan lauknya saja (rolade dan ayam panggang). Pas maghrib, mulai deh si bocah rewel. Nangis dan mengeluh sakit di sana-sini. Titik beratnya di persendian-persendian.

Gitu suami enak aja bilang "oh gakpapa ini,, sakit biasa untuk memperbarui imunitas". Doooooeeeeenggggg!! Seringan itu komentarnya??? Anak udah rewel parah, nangisnya yang sesengukan. Suhu badan mulai meningkat tajam. Diambil-lah sebotol paracetamol, tetap dengan bertanya-tanya "kenapa gak ada kardusnya ya? kenapa gak ada leaflet-nya ya?". Begitu dituang ke sendok takar (yang harus dibeli terpisah). Kembali saya bertanya dalam hati "woow.. kok warna sirupnya hijau? biasanya kan pink? mungkin rasa apel". Disodorkan ke mulut Erdi.

Belum habis satu sendok takar (5 ml), Erdi udah teriak "peeeeeedeeeeeeeeeeessssss". Lalu nangis menjerit-jerit. Sekejab saya bengong. Suami berlari ke kamar. Saya icipi rasa obat yang tersisa di sendok. Olala,, rasa mint toh?! Tidak pahit sama sekali. Manisnya sedikit tapi mint-nya nendang di mulut-mulut langit. Saya aja yang dewasa cukup kaget dengan rasanya apalagi Erdi yang masih bocah imut. Sisa obat tadi terpaksa diminumkan. Dengan bujuk rayu tidak berhasil. Maka sedikit paksaan diberlakukan. Suami memangku dan memeluk plus memencet hidung Erdi, saya menuangkan sisa obat ke dalam mulut Erdi.

Setelah itu buru-buru disodorkan air putih. Rupanya Erdi semula menduga obatnya rasa leci atau strawberry seperti biasanya. Ternyata kali ini rasanya sama sekali berbeda. Bagus juga ya obat kayak gini. Tidak harus berasa enak dan cocok di lidah anak. Karena obat bukan makanan bukan cemilan, selalu ada efek sampingnya. Oia, dosis paracetamol itu 10-15 mg per berat badan yaa... Saya lebih suka pakai dosis terendah yaitu 10 mg per berat badan, jadi berat Erdi yang sekitar 12 kg itu bisa diatasi dengan 5 ml paracetamol (10 mg x 12 kg= 120 mg/kg,, kandungan yang tertera di botol adalah 5 ml mengandung 120 mg). Gampang kan cara menghitungnya?!

Selama menulis blog ini, saya nyambi dengan membuatkan Erdi semangkuk tomat (lagi). Menyuapi, lumayan habis banyak juga. Kemudian si bocah pesan makan dengan nasi dan telur mata sapi yang akhirnya dihidangkan ayahnya karena saya tidak bisa keluar dari kamar. Erdi minta dipijati di bagian tangan dan kaki. Sesekali mengeluh sakit di bagian perut. Pijat-pijat sambil nyuapi nasi+telor mata sapi sambil menulis... Pesannya heboh tapi makan hanya sekitar 3-4 sendok kecil. Bersyukur lah banyak jenis yang masuk meski makanan beratnya hanya sekelumit. Semoga ini memang hanya seringan komentar suami dan esok si bocah sudah kembali sehat

0 comments: